Rabu, 04 Februari 2009

HUBUNGAN SIPIL-MILITER DAN PERISTIWA 17 OKTOBER 1952

A. PENDAHULUAN

Dalam catatan sejarah, hubungan sipil-militer di Indonesia kerap terganggu, bahkan relasi itu cenderung bersifat konfliktual. Salah satu fakta yang paling mutakhir adalah pemberian pangkat jenderal kehormatan bagi Mendagri Hari Sabarno dan Kepala BIN Abdullah Machmud Hendropriyono oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di sisa masa jabatannya. Pemberian pangkat jenderal kehormatan itu cukup besar kemungkinan menjadi biang pemicu mundurnya Jenderal Endriartono Sutarto dari kursi Panglima TNI. Pengunduran diri mantan Jenderal Sutarto ini tertuang dalam surat No R/357-08-04/38/Spres, 24 September 2004.

Merunut perjalanan sejarah militer di negeri ini, amat jarang seorang pemimpin puncak dalam hierarki kemiliteran Indonesia tiba-tiba memutuskan mundur. Peristiwa ini seolah mengulang sejarah 30 tahun lalu. Tepatnya, setelah peristiwa 15 Januari 1974 (Malari). Ketika itu, Jenderal Soemitro, yang menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), mendatangi Presiden Soeharto dan minta mundur dari jabatannya. Saat itu Jenderal Soemitro (almarhum) mengaku merasa gagal mengantisipasi terjadinya kerusuhan yang membakar kota Jakarta kala itu. Pengunduran diri Jenderal Sutarto itu terkesan sarat muatan politik karena dilakukan menjelang pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono.

Spekalusi pun berkembang, bahkan muncul penilaian adanya semacam rekayasa politis di balik peristiwa pengunduran diri itu. Dan salah satu pemicunya adalah soal pemberian pangkat jenderal kehormatan pada Hari Sabarno dan Hendropriyono. Jenderal Sutarto amat mengkritisi langkah Presiden yang memberi pangkat istimewa itu kepada dua pembantunya. Dalam beberapa kali kesempatan Sutarto yang mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu secara implisit menolak pemberian pangkat tersebut. Menurut dia, masih banyak cara yang bisa ditempuh Presiden untuk memberikan penghargaan bagi pensiunan jenderal, salah satunya melalui pemberian bintang jasa. Tapi, Kepala Pusat Penerangan (Puspen) TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin telah memberi alasan formal soal keputusan mundur bosnya itu. Pertama, usaha reorganisasi di lingkungan TNI, usia Jenderal Sutarto yang sudah mencapai 57 tahun, dan permintaan kepada presiden untuk mengganti Panglima TNI oleh kepala staf angkatan yang kini menjabat. Namun, tanpa ada penjelasan resmi, lengkap, dan terbuka dari Panglima TNI, tetap saja penjelasan Kepala Puspen tidak mampu menghilangkan spekulasi yang beredar di masyarakat. Berkaca dari pengalaman.

Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan peristiwa genting antara hubungan sipil militer di Indonesia dan beberapa teori yang mengupas tentang hal tersebut.

B. PEMBAHASAN

Kasus pengunduran diri Jenderal Suharto menjadi preseden berdampah buruk bagi hubungan sipil-militer ke depan dan menjadi tugas berat bagi pemerintah baru untuk membenahinya. Sebab, berkaca pada pengalaman sejarah militer Indonesia, konflik sipil-militer terjadi akibat adanya interest yang berlebihan dari suprastruktur (yang terdiri atas elite sipil) vis a vis kekuatan militer. Salah satu konflik besar antara sipil-militer yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus 17 Oktober 1952. Peristiwa itu terjadi, lagi-lagi karena masalah implementasi hubungan sipil-militer yang tak jelas juntrungannya. Para elite sipil dan militer pasca-kemerdekaan RI saat itu sejak awal berdebat soal hubungan antara penyelenggaraan pemerintahan dan keamanan negara. Dari situ tumbuhlah berbagai konsep tentang hubungan sipil-militer atau peran militer, baik yang dikeluarakan oleh orang-orang sipil atau militer sendiri.

Konsep peran militer dari pihak sipil pasca-kemerdekaan, antara lain berasal dari tokoh-tokoh sosialis dan komunis tentang konsep antara rakyat revolusioner (Syahrir dengan Pesindo, Amir dengan Pepolit, dan Tan Malaka dengan PP-nya). Selain itu konsep supremasi sipil dan profesionalisme tentara di mana tentara hanya menjadi alat negara penjaga keputusan-keputusan yang legal. Sedangkan konsep peran militer yang dikeluarkan pihak militer, misalnya tertuang dalam pendapat TB Simatupang, yakni mirip dengan kedudukan militer di Republik Weimar Jerman.

Dalam hal ini merupakan pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet. Selain itu terdapat konsepsi Nasution tentang dwifungsi TNI (berdasarkan pidato The Army's Middle Way), yakni konsep pragmatis yang dengan cerdik menyelimuti fasisme (supremasi militer).

Faktor conlict of interest sipil-militer di Indonesia tampaknya luput dari perhatian. Padahal, golongan militer pun sebenarnya punya kepentingan yang tinggi dalam dunai politik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa betapun konsesi telah diberikan sebesar-besarnya kepada golongan militer kehendak untuk menjarah pusat-pusat kekuasaan tidak pernah kendor. Salah satu alasan klasik untuk membenarkan kemauan ini adalah campur tangan sipil dalam urusan-urusan militer, umpamanya berkaitan dengan pengakatan pejabat militer. Golongan militer nyatanya telah tumbuh sebagai golongan yang lain, tidak peduli apakah akan berafilasi atau berkonfrontasi dengan pihak sipil. Interaksi golongan militer dengan peristiwa-peristiwa itu telah membentuk diri menjadi kelompok pragmatis yang senantiasa berusaha memuaskan interest-interest yang diwariskan oleh masa lalu, yakni senjata sebagai perpanjangan tangan alat produksi dengan syarat guna meluluskan kepentingan ekonominya.

Menurut S Indro Tjahjono (2000), dalam hampir setiap pembelotan militer selama ini selalu didahului oleh masalah mengecilnya porsi ekonomi atau sebaliknya tuntutan untuk meningkatkan peluang dan kesejahteraan ekonomi tentara seperti kemungkinan berkurangnya jabatan non-militer, kesempatan menambah dana kesejahteraan dan tuntutan kenaikan anggaran pertahanan. Namun, ancaman yang bersifat subsatansial dan selalu menjadi preseden dalam konflik antara kabinet dan angkatan bersenjata adalah kemungkinan hilangnya mata pencaharian tentara akibat kebijaksanaan rasionalisasi dan demobilisasi yang terjadi pada beberapa kali kabinet. Puncaknya adalah peristiwa pengambilalihan pemerintahan sipil oleh Letkol Ahmad Husain di Sumatera Tengah, Kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan Kolonel barial di Sumatera Selatan pada 1952 sehingga pemerintah perlu memberlakukan SOB (Staat Onder Beleg, Keadaan Darurat). Krisis politik pada masa ini juga dibumbui oleh campur tangan Sukarno melalui hubungan dengan Bambang Sumpeno yang menentang keras markas besar dan protes politisi sipil atas SOB.

Menanggapi berbagai krisis politik ini, parlemen bersidang pada 28 Juli 1952, dan dalam sidang ini golongan militer memasalahkan rencana kabinet memberhentikan lagi 80.000 dari 200.000 personel dengan alasan usia lanjut. Kabinet menganggap perlu pemberhentian masal ini mengingat akan dilakukan penurunan alokasi anggaran militer dari Rp 2.625 juta menjadi Rp 1.900 juta. Pihak Angkatan Darat punya argumen, dibanding anggaran pertahanan Burma, Muangthai, dan Filipina yang sebesar 50 persen dari anggaran nasionalnya, maka angka anggaran pertahanan Indonesia sebesar 19 persen sangatlah kecil.

Di samping itu gaji dan tunjangan perumahan prajurit pada 1951, dibanding anggota KNIL pada 1949 masing-masing hanyalah 60 persen dan 20 persen sedang anggaran kesejahteraan hanya 10 persen dari KNIL. Berdasarkan latar belakang ini munculah Peristiwa 17 Oktober 1952, suatu preseden yang paling mencoreng sejarah militer. Ribuan pasukan dengan persenjataan berat dikerahkan mengepung istana untuk mengancam kabinet sipil. Tetapi hulu ledak peristiwa ini tersulut ketika rencana undang-undang Angkatan Darat untuk diikut-sertakan dalam kebijakan politik digagalkan oleh mosi Manai Sophiaan (Feith, Castles, 1970; Feith, 1972, 1953; Nasution, tt) Pada peristiwa ini, Kemal Idris (1994) mengakui mengerahkan massa demonstran yang antara lain di lapangan dipimpin oleh Dr Mustopo menuntut pembubaran parlemen. Pasukan dan moncong meriam juga diarahkan ke Istana Merdeka menuntut Bung Karno membubarkan parlemen. Militer yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Perang Tahi Bonar Simatupang dan KSAD Abdul Haris Nasution menganggap politisi sipil terlalu mencampuri urusan militer. Tapi kharisma dan wangsit Bung Karno waktu itu masih luar biasa hebatnya. Dia tampil ke depan Istana dan berpidato, massa yang memang tidak tahu-menahu politik bukannya berteriak minta parlemen bubar, tapi malah berteriak "Hidup Bung Karno". Simatupang dan Nasution langsung dipecat dari jabatan KSAP dan KSAD dan diinterogasi oleh Jaksa Agung Suprapto, yang jelas bukan model Andi Ghalib atau Ismudjoko yang sekadar tunduk kepada Presiden, tapi benar-benar melaksanakan Trias Politika. Siapa saja yang makar tidak peduli KSAP dan KSAD harus diinterogasi. Dalam Peristiwa 17 Oktober itu, dedengkot intelijen Kol Zulkifli Lubis memihak Presiden Soekarno dan menggerakkan perwira-perwira yang setia kepada Bung Karno untuk mengganti para panglima Kodam di daerah yang mendukung Nasution. KSAD baru yang diangkat adalah Bambang Sugeng yang akan bertahan sampai 1955.

Ketika Bambang Sugeng berhenti, maka yang diangkat adalah Bambang Utoyo sehingga Zulkifli Lubis merasa keki dan memboikot pengangkatan itu, malah kemudian membelot ikut pemberontakan PRRI/Permesta. Peristiwa ini memberi pelajaran tentang hubungan Angkatan Perang (TNI) dengan pihak lain, baik kelompok di DPR, anggota kabinet (parlementer) maupun Presiden Soekarno ketika itu. Ini penting diketahui oleh generasi muda sipil dan TNI, agar setiap interaksi dapat berjalan lebih mulus. Dalam arti, tanpa kesenjangan dan rasa curiga yang berlebihan, apalagi friksi tajam, yang pada buntutnya merugikan kehidupan bernegara. Khususnya dalam menjalani TNI yang sedang mereformasi diri (back to basic).

* Teori Terpadu dalam Hubungan Sipil-Militer

Studi tentang hubungan sipil-militer cenderung tidak begitu banyak mengalami teorisasi. Usaha untuk menutupi kekurangan tersebut ternyata masih kurang memuaskan. Teori-teori baru yang muncul setidaknya memiliki dua kelemahan, yaitu: topik kajiannya terlalu sempit sehingga aspek kritis dari masalah yang dikaji terabaikan; dan terlalu terikat dengan kultur dan politik masing-masing pakar yang merumuskan teori tersebut. Kajian dan teori yang ada sekarang sebagian besar berfokus pada resolusi dan pencegahan usaha kudeta. Kelemahan teori ini tidak pada kemampuannya menganalisis intervensi militer dalam dunia politik, tetapi pada kecenderungannya mengabaikan masalah-masalah lain—dalam hubungan sipil-militer—yang dihadapi masyarakat dan angkatan bersenjatanya.

Beberapa model teori telah dirumuskan. Di Amerika Serikat, misalnya, ‘model misi’ dimunculkan dari asumsi bahwa militer akan lebih patuh ketika ada ancaman eksternal dibandingkan ketika menghadapi ancaman internal. Pendekatan kedua adalah ‘model kelembagaan’ yang menekankan perlunya penguatan lembaga-lembaga sipil untuk menjamin kontrol sipil yang berkelanjutan. Pendekatan ketiga adalah ‘model supremasi sipil’ yang menegaskan bahwa kontrol memerlukan intervensi aktif dari tokoh politik pada setiap level dalam proses kebijakan. Pendekatan keempat adalah ‘model humaniter’ yang mendorong tumbuhnya hubungan yang harmonis di kalangan para elit pertahanan nasional baik sipil maupun militer. Tetapi semua model yang ditawarkan di atas seakan gagal memberikan masukan konstruktif tentang bagaimana otoritas sipil bisa memulai dan melanggengkan kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata.

* Teori “Berbagi Tanggung Jawab”

Teori ini menjelaskan bahwa kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata dikelola dan dipelihara melalui pembagian tanggung jawab kontrol antara pimpinan sipil dan perwira militer. Dalam hal ini, pihak sipil bertanggung jawab dan akuntabel terhadap aspek kontrol tertentu, dan pihak militer juga bertanggung jawab dan akuntabel terhadap aspek kontrol yang lain. Meskipun ada aspek kontrol tadi yang bisa digabung tetapi mereka tidak bisa dileburkan.

Hubungan dan pengaturan tanggung jawab tersebut bervariasi dari satu negara dengan negara yang lain. Hal itu disebabkan oleh kondisi-kondisi khas yang membentuk sebuah rezim dilandasi oleh kekhususan ‘prinsip, norma, dan prosedur pengambilan keputusan yang memungkinkan penyeragaman ekspektasi masing-masing pelakunya’ berkenaan dengan hubungan sipil-militer. Walaupun sebuah rezim bisa bertahan dalam waktu yang lama, tetapi rezim tadi bisa berubah jika terjadi pergeseran pada faktor-faktor kausal yang mendasar seperti nilai-nilai, isu, kepentingan, figur, maupun ancaman. Dalam konteks ini, perubahan dalam tata-aturan dan prosedur pengambilan keputusan biasanya bisa meningkatkan dinamika dalam hubungan sipil-militer, sedangkan perubahan pada norma-norma dan prinsip tadi akan menimbulkan konflik dalam hubungan sipil-militer.

Teori ‘berbagi tanggung jawab’ ini akan efektif untuk menjelaskan dasar-dasar kontrol sipil terhadap militer, memprediksi hasilnya, dan membandingkan sistem antar negara. Teori ini berlandaskan pada dua asumsi, yaitu ‘kontrol sipil’ dan ‘proses dinamis.’ Konsep ‘kontrol sipil’ bermakna bahwa sumber legitimasi dalam menentukan arah dan aksi militer berasal dari otoritas sipil yang berada di luar establishment hankam atau militer. Meskipun definisi ini tidak menyinggung alasan moral atau etika terhadap otoritas sipil tadi, tetapi ia menegaskan bahwa militer tidak memiliki hak yang legitimet untuk bertindak sendiri. Asumsi kedua menekankan bahwa kontrol sipil merupakan proses yang dinamis sehingga terbuka terhadap perubahan ide, nilai, keadaan, isu, figur dan tekanan-tekanan di masa krisis atau perang.

Berbagi atau Mengontrol?

Jika prinsip dasar dari hubungan sipil-militer adalah menempatkan kontrol sepenuhnya di tangan sipil, pertanyaan yang bisa muncul adalah bagaimana sebuah sistem hubungan sipil-militer bisa dibangun atas prinsip ‘berbagi tanggung jawab’? Pengalaman membuktikan bahwa otoritas sipil sangat tergantung pada pakar di kalangan militer karena mereka tidak saja memberikan masukan teknis dan memimpin operasi militer, tetapi juga membantu kelanggengan kontrol sipil terhadap militer. Bahkan di negara demokrasi liberal yang sudah mapan sekalipun, petinggi militer tetap berhak memberi masukan dan aspirasi kepada atasan sipil mereka dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pertahanan negara dan pengerahan pasukan.

Para ilmuwan dan praktisi mengakui eksistensi persinggungan antara tanggung jawab sipil dan militer. Pembagian tersebut bisa terjadi dalam berbagai dimensi dan dalam kadar yang bervariasi dari satu negara ke negara yang lain, tergantung dari apa isu yang berkembang dan tradisi suatu bangsa. Ada 4 matrik keputusan yang sentral dalam manajemen pertahanan: strategis atau perangkat keputusan yang menentukan tujuan dan perlengkapan (persenjataan) untuk mencapainya; organisatoris yang mengatur pembagian sumber-sumber pertahanan dan tanggung jawab internal; sosial yang mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan angkatan bersenjata dan masyarakat; operasional yaitu keputusan untuk mengerahkan pasukan. Pemimpin sipil dan militer berbagi tanggung jawab dan masing-masing akuntabel terhadap keputusan yang diambil dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh keputusan yang dibuat dalam keempat bidang di atas.

* Empat Masalah dalam Hubungan Sipil-Militer

Pergesekan pertama yang biasa terjadi dalam hubungan sipil-militer adalah ‘masalah praetorian…perlunya mengekang kemampuan politik militer.’ (S. Huntington, 1991: 231). Ketika negara-negara demokrasi liberal dan demokrasi baru harus mengatasi masalah lama dan persisten ini, mereka harus berkonsentrasi pada perlunya mengawasi bagaimana mengelola hubungan sipil-militer setelah kekuasaan politik militer tadi berhasil dibatasi.

Pemerintahan demokrasi liberal tidak saja kuatir terhadap tentara karena militer merupakan ‘organisasi bersenjata yang disiplin’ yang berpotensi mengancam kebebasan, tetapi juga karena ketidakdisplinan militer bisa menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Di sini terlihat perlunya jaminan sehingga ‘organisasi bersenjata yang disiplin’ ini tetap menjalankan fungsinya menjaga hankam negara tanpa menimbulkan bahaya—dengan sikap yang tidak disiplin, petualangan, atau memperbesar ancaman—terhadap pemerintah atau warga negara.

Masalah ketiga adalah bagaimana melindungi militer agar tidak terjerumus ke dalam probematika ganda tentara yaitu ‘tunduknya angkatan bersenjata di bawah pemerintahan politik dan kontrol pemerintah atas ketundukan tersebut.’ (M. Howard, 1957:12). Militer dalam hubungan ini perlu dilindungi dari para politisi yang bisa menyalah-gunakan militer yang ada di bawah kendali sipil tadi untuk kepentingan yang partisan atau kelompok sendiri.

Masalah keempat adalah problematika ‘hubungan para pakar dengan Menteri Pertahanan’. (S. Huntington, 1991:20). Bagaimana Menhan bisa mengontrol militer jika ia tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk menjalankan tugas dan wewenangnya? Tetapi di mana fungsi kontrol sejati dari seorang Menhan jika dia tergantung dari masukan atau dewan ‘serikat para jenderal’? Untuk mengatasi hal ini Menhan bisa saja mengambil staf ahli (whizz kids) di luar establishment militer, tetapi apa mungkin para perwira bersedia memikul tanggung jawab atas kebijakan yang dibuat tanpa keterlibatan mereka?

Keempat masalah hubungan sipil-militer ini tidak bisa diselesaikan secara tuntas karena setiap masalah cenderung berkaitan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, jika yang ingin dicapai adalah kepentingan bersama, maka pihak militer harus dilibatkan dalam menyusun kebijakan yang relevan dengan tanggung jawab mereka. Karena itu pula, muncul dan langgengnya kontrol sipil terhadap militer sedikit banyak tergatung dari kepemimpinan senior dari angkatan bersenjata.

* Berbagi Tanggung Jawab dalam Mengontrol Militer

Militer berkewajiban melindungi pemerintah dari intervensi pihak mana saja. Di sini terlihat adanya ketergantungan pemerintahan sipil terhadap pihak militer. Pertanyaannya adalah apakah, kapan dan dalam kondisi mana militer harus bertindak untuk mencegah terjadinya ‘kekacauan sipil.’ Perwira senior bisa memimpin kudeta tatapi bisa pula mencegah atau menumpas usaha tersebut. Oleh karena itu, jika perwira senior dan para panglima menghormati kontrol sipil dan aturan hukum yang berlaku, maka mereka akan bertindak dalam rangka melindungi otoritas sipil tersebut sesuai kondisi misalnya melalui penumpasan perlawanan sipil, mengontrol unit masing-masing, membatasi kegiatan politik di garnizun-garnizun, atau menghukum perwira yang ingin menjatuhkan pemerintah.

Dalam negara demokrasi liberal sekalipun, para perwira militer bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan disiplin dalam angkatan bersenjata. Meskipun tingkat kontrol militer itu berbeda dari satu negara dengan negara yang lain, tetapi mereka miliki kesamaan bahwa secara internal militer harus mengontrol dirinya sendiri. Oleh karena itu jika para politisi menghalangi perwira mendisiplinkan bawahannya, maka itu bisa menimbulkan keretakan dalam hubungan sipil-militer dalam 2 level: pertama, runtuhnya disiplin dalam angkatan bersenjata; kedua, bisa mengundang reaksi keras dari pimpinan militer.

Warga negara tidak boleh mencampuri urusan militer untuk kepentingan yang partisan karena angkatan bersenjata dipisahkan oleh prinsip dan norma-norma dari proses politik. Perwira senior harus menjalankan tanggung jawabnya untuk memelihara keteraturan ini, sebagaimana yang digambarkan oleh Colin Powell, yaitu menjalankan ‘peran sebagai penghubung timbal-balik antara angkatan bersenjata dan sistem politik.’ (B. Woodward, 1992:154).

Berbagi Tanggung Jawab, Rezim, dan Hubungan Sipil-Militer
Teori rezim yang dipinjam dari teori hubungan internasional bisa menjadi kerangka konseptual sekaligus instrumen untuk menjelaskan bagaimana sistem ‘berbagi tanggung jawab’ itu berfungsi. Rumusan dasar dari teori rezim adalah tentang ‘ aturan main’ yang mengarahkan sebuah perilaku, dan berperan sebagai ‘variabel intervensi yang berdiri di antara faktor-faktor kausal dasar di satu sisi, dan hasil dan perilaku di sisi yang lain.’ (S. Krasner, 1983:1).

Mengapa sebuah rezim cenderung kontroversial? Hal ini disebabkan oleh rezim muncul dari sebuah kondisi anarkis, di mana negara atau kelompok atau individu tidak memiliki kekuatan atau otoritas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Gagasan, ‘keyakinan yang dipegang oleh individu,’ dan oleh subkultur seperti militer, merupakan salah satu tipe variabel kausal dasar yang menjadi aktor utama sebuah rezim. Gagasan dan ide tadi sangat berpengaruh dalam dunia politik karena selalu menjadi topik dalam debat-debat politik, khususnya dalam hubungan sipil-militer, di mana keyakinan dari subkultur politik dan militer diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kepatuhan militer terhadap otoritas sipil tersebut bukan karena gejala yang alamiah. Kepatuhan tersebut justru ditimbulkan oleh kepemimpinan sipil terhadap militer karena adanya legitimasi dan diakui oleh kedua belah pihak dalam batasan yang wajar dan bisa ditolerir. Dan batasan itu disusun sesuai perilaku politik suatu negara. Oleh karena itu, bisa diperkirakan ketika harapan terhadap sebuah legitimasi atau otonomi rendah, hubungan sipil-militer akan terganggu dan kepatuhan akan menjadi problematik. Secara teroritis, ketika rezim tidak ada, lemah, atau tidak terpadu, maka hubungan sipil-militer tidak akan stabil dan kontrol sipil terancam. Sebaliknya, jika muncul rezim kuat yang dibangun oleh sipil akan melahirkan hubungan sipil-militer yang stabil dan kontrol sipil menjadi kuat. Sebaliknya, meskipun rezim ciptaan militer juga bisa menciptakan hubungan sipil-militer yang stabil tetapi kondisi tersebut bisa mengurangi kontrol sipil.

Mengaitkan teori rezim dengan paradigma ‘berbagi tanggung jawab’ akan bisa menjelaskan bagaimana hubungan sipil-militer itu berfungsi. Teori berbagi tanggung jawab menjelaskan bahwa pembagian tanggung jawab merupakan pengejawantahan dari interaksi berbagai aktor yang bermain dalam kerangka yang dinamakan rezim. Dalam rezim itulah disepakati aturan main dan sanksi bagi yang melanggarnya.

* Bagaimana Mengontrol Militer dalam Sebuah Kemitraan

Ketika kontrol sipil benar-benar terwujud, para ahli dan politisi harus membuktikan bahwa kontrol tersebut langsung dan semata-mata berasal dari tindakan dan keputusan sipil, bukan karena diamnya pihak militer. Yang menjadi indikator utama kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata adalah outcome (hasil) bukan kebijakan.

Pihak sipil bisa memberi arah yang cukup terhadap militer dengan menciptakan sebuah rezim sipil yang mengakui peran militer dalam hankam negara dan menyusun perangkat-perangkat bagaimana tanggung jawab tersebut dibagi. Secara minimal, otoritas sipil harus mengontrol kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tujuan nasional, alokasi sumber daya militer dan penggunaan kekuatan. Sedangkan pihak militer diberi wewenang—dalam batasan yang wajar—untuk menyusun doktrin, disiplin, perencanaan operasi, organisasi internal, promosi perwira menengah (dibawah pangkat Kolonel) dan mengatur unit-unit taktis dalam sebuah operasi. Feaver membedakan antara ‘kontrol delegatif’ yaitu ‘penyerahan kekuasaan de facto ke elemen yang lebih rendah,’ dengan ‘ kontrol asertif’ yang memungkinkan adanya pengawasan sipil terhadap militer, khususnya operasi militer. (P. Feaver, 1992:7-9). Disamping itu, ada pula pakar yang mengusulkan pola consensus-building.

* Mekanisme Akuntabilitas

Jarang ada kebijakan yang bersifat self-enforcing. Meskipun terdapat pembagian tanggung jawab dan sebuah rezim sudah cukup mapan, tetapi kontrol yang sesungguhnya masih tetap belum jadi realita. Rezim sipil-militer di sini hanya memberi aturan main; kontrol sipil sesungguhnya hanya akan jadi kenyataan ketika sipil mampu meminta perwira militer untuk setia kepada rezim, dan melaksanakan apa yang perintahkan. Dengan demikian, kunci utama kepemimpinan sipil terhadap militer adalah mekanisme akuntabilitas. Ketika mekanisme akuntabilitas ini kuat dan efektif, maka kontrol akan menjadi kuat dan efektif pula.

Kepemimpinan sipil terhadap militer harus dipahami tidak saja sebagai perisai terhadap usaha kudeta, tetapi sebagai usaha mengelola sebuah rezim yang memberikan legitimasi dan batasan terhadap semua aktor yang berkepentingan dalam masyarakat. Meskipun rezim menetapkan batasan-batasan setiap keputusan dan tindakan aktor tadi, tetapi akuntabilitas merupakan konsep yang memberikan kontrol sesungguhnya atas keputusan dan tindakan para politisi dan perwira militer yang memangku jabatan yang bersifat temporer dalam pemerintahan dan angkatan bersenjata.

Di negara di mana eksis hubungan sipil-militer, biasanya politisi mengontrol militer melalui sistem akuntabilitas, dan kontrol terhadap politisi dilakukan oleh masyarakat (atau parpol) dengan sistem akuntabilitas pula.

* Langkah ke Depan

Makalah ini menjelaskan bagaimana kontrol sipil terhadap militer dikelola dan dipertahankan melalui pembagian tanggung jawab antara pimpinan sipil dan perwira militer. Teori ini, sebagaimana teori-teori lainnya, berusaha membuat simplifikasi hubungan sipil-militer dengan cara mengupas bagaimana hubungan ‘sipil’ dan ‘militer’ tadi. Pola hubungan tersebut bisa saja berubah secara radikal dalam masa damai, krisis dan perang.

Sejarah juga mencatat bahwa kesulitan dalam hubungan sipil-militer tidak bisa diselesaikan secara permanen, tetapi harus dikelola secara terus-menerus. Sebelum ide-ide hubungan sipil-militer ‘Barat’ ditransfer ke negara yang baru mengembangkan demokrasi, pemimpin mereka harus dibekali dengan perangkat teori hubungan sipil-militer yang memadai dan sesuai dengan pengalaman setempat yang mencerminkan etnosentrisme, sistem politik masing-masing negara, dan tentu saja, realitas zaman.

C. PENUTUP

Sedikit yang dapat ditarik kesimpulan dari uraian di atas adalah Konsep peran militer dari pihak sipil pasca-kemerdekaan, antara lain berasal dari tokoh-tokoh sosialis dan komunis tentang konsep antara rakyat revolusioner (Syahrir dengan Pesindo, Amir dengan Pepolit, dan Tan Malaka dengan PP-nya). Selain itu konsep supremasi sipil dan profesionalisme tentara di mana tentara hanya menjadi alat negara penjaga keputusan-keputusan yang legal. Sedangkan konsep peran militer yang dikeluarkan pihak militer, misalnya tertuang dalam pendapat TB Simatupang, yakni mirip dengan kedudukan militer di Republik Weimar Jerman.

Dalam hal ini merupakan pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet. Selain itu terdapat konsepsi Nasution tentang dwifungsi TNI (berdasarkan pidato The Army's Middle Way), yakni konsep pragmatis yang dengan cerdik menyelimuti fasisme (supremasi militer).


DAFTAR REFERENSI

Agustianti. 2000. Keariffan Militer dan Sipil, Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Hanif Muhammad, 1996. Peranan Militer dalam Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Persada.

Yulianto Arif.2002. Hubungan Sipil Militer Pasca Orba Di tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan I.

1 komentar: