Rabu, 04 Februari 2009

PEMBAHASAN

A. IJARAH

1. Pengertian Ijarah (Upah)

Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).

2. Pensyari’atan Ijarah

Allah swt berfirman :

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thaalaq: 6).

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Qashash: 26).

“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS Al-Kahfi: 77).

Dari Aisyah ra, dia berkata “Nabi saw bersama Abu Bakar ra pernah mengupah seorang laki-laki dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan yang mahir. Al-Khirrit ialah penunjuk jalan yang mahir.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1409 dan Fathul Bari IV: 442 no: 2263).

3. Hal-hal Yang Boleh Ditarik Upahnya

Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap utuh, maka boleh disewakan untuk mendapatkan upahnya, selama tidak didapati larangan dari syari’at.

Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus jelas dan upahnya pun jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis pekerjaannya.

Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal rekan Nabi Musa as:

“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) darimu.” (QS al-Qashash: 27).

Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, lalu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijami, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1498).

4. Anjuran Segera Membayar Upah

Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).

5. Dosa Orang Yang Tidak Membayar Upah Pekerja

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).

B. ARIYAH (Pinjam Meminjam)

1. Pengertian dan Landasan 'Ariyah

A. Pengertian 'ariyah

Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar dapat dikembalikan lagi zat barang tersebut.

Setiap yang mungkin dikembalikan manfaatnya dengan tidak merusak zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.

Firman Allah SWT.

“Bertolong menolonglah kamu atas kebajikan dan taqwa kepada Allah, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa dan bermusuhan” (Al-Maidah: 2)

Dalam surat tersebut telah diterbangkan berberapa perkara yang tidak baik, di antaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam meminjam seperti yang tersebut di atas.

Sabda Rasulullah SAW

“Pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang meminjam sesuatu harus membayar.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi, dan dikatakan Hadits Hasan)

Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata 'aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, 'aariyah berasal dari kata at ta'awur yang sama artinya dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.

Menurut terminologi syara', ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

a. Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah, 'ariyah adalah pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti".

b. Menurut ulama Syafi'iyah dan Hambaliyah, 'ariyah adalah pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti."

Akad ini berbeda dengan hibah, karena 'ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengmbil zat benda tersebut.

B. Landasan Syara'

Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam yang didasarkan pada Al Qur'an dan As Sunnah.

a. Al Qur'an

"Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa." (QS. Al Maidah: 2)

b. As Sunnah Dalam hadits Bukhari Muslim dari Anas, dinytakan bahwa Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

2. Rukun dan Syarat Ariyah

A. Rukun Ariyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.

Menurut ulama Syafi'iyyah, dalam 'ariyah disyaratkan danya lafadzh shighat akad, yakni ucapan ijab daan qabul dari peminjam dan yang ameinjamkan barang pada wakgu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada aadanya izin.

Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:

1. Mu'ir (peminjam)

2. Musta'ir (orang yang meminjamkan)

3. Mu;ar (barang yang dipinjam)

4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

B. Syarat Ariyah

Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah bebarapa persyaratan sebagai berikut:

a. Mu'ir berakal sehat

Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.

b. Pemegangan barang oleh peminjam

c. Barang (musta'ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta'ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.

3. Hukum Pinjaman

Asal hukum meminjamkan adalah sunat, seperti tolong menolong dengan orang lain, kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan berguna untuk yang haram.

Kaidah: “Jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.” Misalnya, seseorang yang menunjukan jalan kepada pencuri, maka keadaannya sama dengan melakukan pencurian itu.

4. Rukun Pinjaman

1. Yang Meminjamkan Syaratnya

a. Ahli (berhak) berbuat baik sekehendaknya: anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkannya.

b. Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, walau dengan jalan wakaf atau menyewa sekalipun, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karenanya yang meminjamkan tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjam bukan miliknya. Hanya dia dizinkan mengambilnya, tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak berlarangan, seperti dia meminjam rumah selama satu bulan ditinggalinya hanya 15 hari, sisinya (15 hari lagi) boleh diberikannya kepada orang lain.

2. Yang Meminjam

Hendaklah dia orang yang ahli (berhak) menerima kebajikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebajikan.

3. Barang yang dipinjam syaratnya

a. Barang yang tentu ada manfaatnya

b. Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak), oleh karenanya makanan dengan sifat untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan

c. Lafadz: kata setengah orang, sah dengan tidak berlafadz

d. Mengambil Manfaat Barang Yang Dipinjam

Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang diizinkan. Umpamanya dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia dibolehkan menanam padi dan yang sama umurnya dengan padi, atau yang kurang seperti Kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman yang lebih lama dari padi kecuali ditentukan masanya, maka dia boleh bertanam menurut kehendaknya.

e. Hilangnya Barang Yang Dipinjam

Kalau barang yang dipinjam hilang atau rusak sebab pemakaian yang dizinkan, yang meminjam tidak mengganti karena pinjam meminjam it berarti percaya-mempercayai, tetapi kalau sebab lain wajib menggantinya. Menurut pendapat yang lebih kuat, kerusakan yang hanya sedikit karena dipakai yang dizinkan tidaklah patut diganti, karena terjadinya disebabkan oleh pemakaian yang dizinkan (kaidah: Ridho pada sesuatu, berarti ridho pula pada akibatnya).

f. Mengembalikan Yang Dipinjam

Kalau mengembalikan barang yang dipinjam tadi berhajat pada ongkos maka ongkos itu hendaknya dipikul oleh yang meminjam. Sabda Rasulullah SAW
“Dari Sumura: telah bersabda Nabi besar SAW; tanggung jawab barang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu” (Riwayat Lima orang ahli Hadits selain Nasa’i)

Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan yang meminjamkan tidak berhalangan buat mengembalikan / minta kembali pinjaman karena ‘Ariyah adalah akad yang tidak tetap. Kecuali bila meminjam untuk pekuburan, maka tidak boleh dikembalikan sebelum hilang bekas-bekas mayat, berarti sebelum mayat hancur menjadi tanah, dia tidak boleh meminjam kembali. Atau dipinjamkan tanah untuk menanam padi, tidak boleh mengetam. Ringkasnya keduanya boleh memutuskan akad asal tidak merugikan kepada salah satu seseorang dari yang meminjam atau yang meminjamkan, Begitu juga sebab gila maka apabila mati yang meminjam, wajib atas warisnya mengembalikan barang pinjaman dan tidak halal bagi mereka memakainya, kalau mereka pakai juga, mereka wajib membayar sewanya. Kalau berselisih antara yang meminjamkan dengan yang meminjam (kata yang pertama belum dikembalikan, sedangkan yang kedua mengaku sudah mengembalikannya), hendaklah dibenarkan yang meminjamkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum kembali. Sesudah yang meminjam mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akad, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.

5. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah

1. Dasar Hukum Ariyah

Menurut urf, ariyah diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.

a. Secara Hakikat

Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.

Al Kurkhi, ulama Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.

b. Secara Majaz

Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.

Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.

2. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta'ar)

Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta'ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu'ir (orang yang memberi pinjaman).

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki musta'ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu'ir meminjamkannya secara mutlak atau secara terikat (muqayyad).

a. Ariyah mutlak

Ariyah mutlak yaitu, pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.

b. Ariyah muqayyad

Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam memanfaatkannya.

1. Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam

2. Pembatasan waktu dan tempat

3. Pembatassan ukuran berat dan jenis

6. Sifat Ariyah

Ulama Hanafiyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya.

Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu'ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Akan tetapi, pendapat yang paling unngul menurut Ad Dardir dalam kitab Syarah Al Kabir adalah mu'ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.

KATA PENGANTAR

Syukur al-hamdulilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Dialah yang menciptakan bumi dan langit, serta yang menciptakan sekalian alam, yang telah memberikan kita taufik dan hidayah-Nya, sehingga kita terhindar dari kejahatan dan kemungkarannya.

Shalawat dan salam, kita ucapkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita kapada jalan yang benar, semoga kita dapat mendapat syafa’atnya di yaumil akhir nanti.

Disini kami sebagai pembuat makalah yang kami beri judul ”IJARAH DAN ARIYAH”. Penulis sangat berterima kasih, khususnya kepada dosen yang mengajar Mata Kuliah “ILMU FIQH” yang telah memberikan pemahaman kapada kami terutama hal yang berkenaan dalam makalah ini. Umumnya kepada teman teman sekalian.

Dalam pokok pembahasan makalah yang cukup sederhana ini, sudah barang tentu banyak kesalahan dan kekeliruan. Baik itu hal yang menyangkut penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu disini kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan, tulisan maupun isi dri makalah kami, untuk yang akan datang.

Jambi,17 Januari 2009

Penulis

PENDAHULUAN

Dengan penulisan makalah yang sangat sederhana ini kita dapat mengetahui dari beberapa yang diajarkan dalam Ilmu Fiqh yaitu tentang muamalah seperti contoh yang pemakalah buat diatas yaitu Ijarah dan Ariyah, maka dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana dan apa syarat dan rukun Ijarah serta Ariyah.

Dan kita dapat mengetahui batasan-batasan serta orang yang boleh meminjamkan barang dan mengetahui bagaimana cara memberikan upah kepada para pekerja yang telah mengerjakan apa yang telah kita suruh.

PENUTUP

Kesimpulan:

Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan.

Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar dapat dikembalikan lagi zat barang tersebut.

Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata 'aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, 'aariyah berasal dari kata at ta'awur yang sama artinya dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.

DAFTAR PUSTAKA

http:/www.Muamalah.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10 Januari 2007.

Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1409 dan Fathul Bari IV: 442 no: 2263.

Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443.

Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

PENDAHULUAN........................................................................................................... 1

PEMBAHASAN.............................................................................................................

A. Ijarah......................................................................................................................

B. Ariyah.....................................................................................................................

PENUTUP.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH

IJARAH DAN ARIYAH

Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Ilmu Fiqh




Di Susun Oleh:

1. Hermawan

2. Purwanto

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN EKSTENSI ILMU PEMERINTAHAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar