Senin, 09 Februari 2009

Nama : HERMAWAN

Nim : Sp. 071105

Mid : Ibadah Praktis

Fakultas : Syari’ah

Jurusan : Ilmu Pemerintahann Ekstensi

Dosen Pembimbing : Drs. IBNU KASIR, MHi.

Pengertian

Diambil dari perbandingan mazhab, buku kumpulan-kumpulan hadist, dan Google.com.

Masalah Niat Dalam Ibadah

Dengan memohon petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , saya akan membahas masalah niat dalam ibadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya semua amalan itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang mendapatkan apa yang telah ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas ada beberapa poin yang perlu dibahas, di antaranya:
Definisi niat adalah; Kemauan hati untuk melakukan sesuatu.
Tempatnya adalah dalam hati dan tidak ada hubungannya dengan lidah.

Kalimat menunjukkan sebab terjadinya amal perbuatan. Bahwasanya segala bentuk perbuatan pasti didorong oleh niat untuk melakukannya. Setiap amalan orang berakal yang mempunyai ikhtiar pasti terjadi karena adanya niat. Mustahil ada seorang waras yang berwudhu’, berangkat untuk shalat, bertakbir, dan melaksanakan shalat, tetapi dikatakan bahwa ia tidak atau belum berniat. Sedangkan ia melakukan semua itu dari dorongan keinginan hatinya, itulah yang disebut dengan niat.
Sehingga sebagian ulama mengata-kan: “Seandainya Allah membebani kita untuk beramal tanpa niat, sungguh itu adalah suatu beban yang tidak akan sanggup dipikul.”

Sedangkan makna adalah hasil atau balasan yang diperoleh seseorang dari amalnya tergantung pada niat. Apakah amalan tersebut dilakukan secara ikhlas hanya karena Allah, atau karena riya’, sum’ah, atau untuk tujuan dunia lainnya.

Walaupun seseorang mengucapkan lafadz niat dengan lisannya tetapi hatinya tertuju kepada selain Allah, maka yang akan dihitung adalah yang tersirat dalam hatinya.

Hadits tersebut di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa niat yang ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amalan shaleh.
Bila ada yang mengatakan bahwa niat itu adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat, maka harus dimulai ketika mulai mengangkat tangan pada takbiratul ihram sampai pada kata akbar , sebab rukun suatu amalan harus berada di dalam amalannya.
Yang benar, niat adalah syarat semua amalan, bukan rukun dalam setiap amalan.

Contoh dalam shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki yang rusak shalatnya: “Jika kamu bangkit hendak shalat, maka baguskanlah wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah, selanjutnya bacalah yang termudah bagimu dari Al-Quran.” (HR. Al-Bukhari).

Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memulai shalat dengan perintah “bertakbirlah”, bukan dengan “berniatlah” , dan tidak juga “bertakbirlah dan sertakan niat dalam takbirmu”. Tidak. Karena, kalimat “Jika kamu bangkit hendak shalat” sudah menunjukkan suatu maksud keinginan untuk shalat. Itulah yang disebut niat.

Kalaulah memang niat adalah rukun shalat yang membutuhkan lafadz khusus, niscaya Rasulullah akan mengajarkannya kepada para sahabat. Seperti halnya bacaan tasyahud (tahiyyat). Ibnu Mas’ud radhiyallah ‘anhu berkata: “Rasulullah mengajariku tasyahud dan tanganku berada di antara kedua tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku Surat Al-Qur’an.”
Contoh dalam puasa: Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa belum berniat untuk berpuasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.” (An-Nasa’i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm, 6/162, shahih).

Malam hari adalah sejak matahari terbenam sampai terbit fajar, dalam tenggang waktu sebelum terbit fajar itulah niat di’azamkan. Sedangkan puasa baru dimulai setelah terbit fajar, jelas tidak berkumpul dengan niat.. Jadi niat tersebut bukanlah rukun dari puasa, tetapi syarat puasa. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memerintahkan atau mengerjakan “Nawaitu shouma ghodin…”

Sungguh sangat disayangkan adanya orang yang dihinggapi rasa was-was. Mereka terlihat sering sekali dalam shalat mengulang-ulang takbiratul ihram, bahkan sampai imam telah ruku’ pun ia belum selesai bertakbiratul ihram. Alasannya, karena niat belum masuk. Astaghfirullaah. Sedemikian sulitkah Islam ini?

Ada juga orang, pada malam Ramadhan telah bermaksud puasa untuk esok hari. Bahkan ia bangun dan makan sahur. Tetapi esoknya ia membatalkan puasanya, karena ia menganggap puasanya itu tidak sah, karena ia lupa, tidak mengucapkan “Nawaitu shouma ghodin…” pada malam hari tadi. Subhanallah. Ini hanyalah tipu daya yang datangnya dari bisikan syetan.

Apakah sudah seperti ini kondisi shalat dan puasa yang dilakukan oleh sebagian Muslimin? Dengan mengidap kadar was-was yang tidak pernah tatacaranya dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallah ‘anhuma.

Munculnya pendapat bahwa shalat harus melafalkan niat dengan lisan adalah dari kesalahan Abdullah bin Az-Zubairy dalam memahami ucapan Imam As-Syafi’i: “Jika seseorang berniat haji atau umrah maka sudah cukup, walaupun tidak dilafalkan. Berbeda dengan shalat, tidak sah kecuali dengan ucapan.” Abdullah Az-Zubairy mengatakan bahwa Imam As-Syafi’i mewajibkan pelafalan niat dalam shalat.

Imam An-Nawawi berkata: “Para sahabat kami berkata: “Telah tersalah orang ini (Abdullah Az-Zubairy), bukanlah yang dimaksud Imam As-Syafi’i dengan “ucapan” itu niat, tetapi yang dimaksud adalah takbir.”

Jadi, menisbatkan “Ushalli” kepada Imam As-Syafi’i itu tidaklah benar. Kalau memang ada ulama yang berpendapat seperti itu, maka seharusnya perkataan (sabda) dan amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan, ketimbang qaul ulama.

Semua nama yang mencakup perbuatan maupun ucapan yang dicintai dan diridhai Allah, baik yang dhahir maupun yang batin, disebut dengan ibadah. Jadi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada amalan-amalan fiqhiyyah saja. Tetapi, mengapa orang yang “menyunnahkan” atau bahkan “mewajibkan” untuk melafalkan niat serta mengajarkan lafal-lafal tertentu, ternyata hanya terbatas pada wudhu’, tayam-mum, mandi, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan di sana masih banyak lagi amalan ibadah lainnya, seperti membuang duri di jalan, memberi makan fakir miskin, menghormati tamu dan tetangga dan lain-lain. Namun, mengapa mereka tidak pernah mengajarkan lafal niatnya?

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa yang membuat-buat suatu perkara dalam urusan kami ini (agama) yang bukan berasal darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kita tidak dibebani untuk membuat syari’at, hanya saja kita diperintahkan untuk mengikuti semua yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang termudah bagi kita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Yang melihat shalat beliau hanyalah para sahabat. Sedangkan kita hanya mengamalkan apa-apa yang telah sampai kepada kita dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Marilah kita tingkatkan amalan perbuatan kita dengan menjalankan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan meng-ikhlaskan niat untuk mengharapkan pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Do’a yang dibaca oleh Umar bin Al-Khatthab radhiyallah ‘anhu :
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amalan shaleh. Jadikanlah amalanku itu hanya untuk mengharap wajahMu. Dan jangan Engkau palingkan ia kepada selain Engkau.” (Muhammad Yasir).

Mengapa kita diwajibkan beribadah?.....

Karena kita sebagai umat manusia memang sangat harus diwajibkan untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan kita masing-masing, sebagai umat yang beragama kita juga harus mempercayai dan meyakini dengan adanya Tuhan. Contoh kita sebagai umat islam kita harus percaya dengan adanya Allah dan Rasul-rasulNya, serta menjalankan apa yang telah di perintahkannya dan mejauhi segala larangannya. Inilah yang mengandung unsur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah. Ibadah sangatlah berperan penting bagi umatnya selalu mengerjakan hal-hal yang lebih baik. Terutama didalam beribadah kia diwajibkan untuk mengerjakan shalat, zakat, puasa, ibadah, dan haji. Ibadah juga merupakan tiang agama, apabila tiang agama itu kita bangun dengan kokoh yaitu denan cara memprtebal iman dan takwa kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar