IMPLIKASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENCANA
Oleh : HERMAWAN
A. PENDAHULUAN
Kebijakan otonomi daerah yang dilahirkan sejalan pada pengguliran era reformasi bangsa ini, terasa semakin sulit untuk diprediksi. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, agaknya masih belum menemukan cara ampuh dalam memulai dunia pemerintahan baru yang bernama otonomi daerah. Kegamangan dan kekalutan dari Pemerintah terasa semakin tampak, dengan diterbitkannya beberapa PP (Peraturan Pemerintah) yang awalnya diniatkan Pemerintah untuk lebih memperjelas tracking perjalanan bangsa ini menuju otonomi yang mandiri, justru masih membuat banyak kebimbangan di daerah sendiri. Begitu banyak Pemerintah Daerah yang merasa bingung dan underestimate dengan pola hubungan koordinasi yang dicoba dijalin pada simpul otonomi daerah. Setiap peraturan yang bernafas otonomi daerah yang dilahirkan dari Pusat, seolah semakin menjadi masalah baru yang membebani mekanisme pemerintahan di daerah.
Sinkronisasi dan harmonisasi berbagai kebijakan dan produk hukum yang menaungi skenario besar bidang otonomi daerah, terasa sulit untuk dilakukan. Regulasi yang seharusnya membuat clear and clean semua kebijakan pada proses implementasi otonomi daerah, justru pada tataran realisasinya, kadang masih membuat kebijakan itu semakin sulit diartikan secara jelas oleh semua stakeholder. Ini tantangan besar bagi kebijakan otonomi daerah yang harus segera dicarikan solusinya.
Hal mendasar yang mungkin terlintas pada pikiran kita terkait dengan implementasi otonomi daerah adalah tidak lepas dengan pembagian kewenangan/urusan pemerintahan yang jelas, utuh, implementatif, dan terkoordinir dengan baik pada semua komponen. Jangan membuat suatu kebijakan yang overlap dengan kebijakan lain, atau malah justru menimbulkan konflik horisontal antar sektor. Amanat dari UU No. 32 Tahun 2004, telah mewujudkan pengaturan pembagian urusan tersebut dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP tersebut dimaksudkan untuk mencoba menjawab sebuah pertanyan dasar terkait pijakan (milestone) apa yang akan digunakan untuk setiap komponen bangsa dalam memulai roda pemerintahannya pada semangat otonomi daerah. Pembagian urusan harus jelas dan diaklamasi secara nasional oleh semua instansi pemerintah dalam 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan. Kenyataannya, apakah starting implementasi kebijakan tersebut telah diakui, dikoordinasikan, dan disinkronkan secara baik dengan peraturan perundangan sektoral yang ada?.
B. PEMBAHASAN
1. Mitigasi dan Penanggulangan Bencana
Diluar urusan besar yang bernama otonomi daerah, saat ini, tanpa kita sadari atau tidak, kita dihadapkan oleh urusan yang juga membutuhkan perhatian yang lebih besar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tidak boleh lama terbuai dengan keluhuran dan keagungan SDA yang kita miliki. Mereka harus sadar, bahwa bangsa dan negara ini dihadapi oleh sebuah tantangan besar yang harus disikapi secara serius. Ring of fire sebagai prediksi jelas negara ini dari ancaman bencana pada semua aspek, seharusnya membuka mata Pemerintah lebih lebar dalam melihat dan memahaminya. Indonesia dengan kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang ada, dimungkinkan rentan untuk terjadinya bencana.
Bencana akan mengakibatkan banyak korban jiwa, kerusakan lingkungan dan infrastruktur, kerugian harta benda, serta dampak psikologis lainnya yang dapat menghambat pembangunan nasional. Bencana yang disebabkan oleh alam, yang tidak mampu diprediksi secara baik oleh siapapun dan ilmu manapun, atau dengan bahaya yang lebih disebabkan intervensi dari perubahan cara hidup bangsa ini dalam memahami alam, akan menjadi tugas besar, yang harus dipecahkan oleh Pemerintah dan masyarakat. Upaya mitigasi /pencegahan dan penanggulangan bencana yang lebih komprehensif, partisipatif, realistis, dan membumi, harus sudah diupayakan dengan baik.
Sinergisitas berbagai kebijakan otonomi daerah, yang secara mudah kita artikan dengan pembagian kewenangan kepada daerah menjadi lebih besar, harusnya menjadi momentum penting untuk pengupayaan usaha pencegahan dan penanggulangan bencana yang lebih terencana, terarah, dan terpadu. Daerah diberikan peran penting untuk memulai secara dewasa dalam mengurus segala usaha yang terkait dengan bencana. Pada PP No. 38 Tahun 2007, proses manajemen pencegahan dan penanggulangan bencana, secara eksplisit telah diatur. PP tersebut mencoba merinci pembagian urusan pemerintahan, mulai dari usaha mitigasi, penanganan bencana, sampai pembentukan kelembagaan, namun masih sangat umum disampaikan.
Setiap kebijakan yang ditawarkan dalam PP No. 38 Tahun 2007, hanya disebutkan secara eksplisit pada proses penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi berbagai kegiatan manajemen pencegahan serta penanggulangan bencana dalam skala makro dan pada level adminsitrasi saja. Usaha mitigasi bencana, penanganan bencana, penanganan pasca bencana, dan pembentukan kelembagaan penanganan bencana, pada konteks pembagian urusan pemerintahan, terkesan pada pengaturan hanya bersifat pengulangan (repetisi) pada semua level administrasi, tanpa ada penekanan yang signifikan pada satu level institusi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Kurang adanya penekanan (emphasizing) masalah manajemen pengelolaan bencana pada PP No. 38 Tahun 2007, terkait dengan kondisi pengaturannya yang hanya ditempatkan pada sub bidang Pemerintahan Umum. Manajemen pengelolaan bencana, tidak dimunculkan pada satu bidang khusus, yang diatur secara rinci dan lebih komprehensif. Disini masyarakat akan menilai letak keseriusan Pemerintah dalam mengatasi masalah kebencanaan pada koridor kebijakan otonomi daerah yang sedang berjalan. Apakah era otonomi daerah, membuat lebih baik, lebih cepat, dan lebih terkoordinir usaha pencegahan dan penganganan bencana ? atau malah sebaliknya ?. Bahkan, yang jadi pertanyaan lagi, apakah Pemerintah menganggap bahwa masalah penanganan bencana kebakaran menjadi sesuatu hal yang lebih penting daripada bencana lain di tanah air ini, yang secara eksplisit dimunculkan sendiri nomenklaturnya pada pembagian sub-sub bidang Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana ? Bagaimana dengan jenis bencana lainnya ? atau hanya sekedar sebagai contoh pembagian urusan bencana tersebut ? Hal inilah yang belum dijawab secara cermat dari PP pembagian urusan.
2. Momentum Otonomi Daerah untuk Kebijakan Manajemen Bencana
Kalaupun tidak secara eksplisit disebutkan kata “bencana” pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maupun dengan dengan kata “otonomi daerah” pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, seharusnya Pemerintah mulai menyusun sebuah kebijakan yang lebih sinergis dan harmonis dalam mendukung proses manajemen bencana pada era otonomi daerah. Rentang kendali Pemerintah yang dicoba untuk diminimalisir oleh kebijakan otonomi daerah, seharusnya membuka warna baru bagi proses manajemen bencana yang lebih efektif dan efisien di berbagai daerah.
Penanggulangan bencana butuh usaha yang cepat dan tepat, untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang dimunculkan dari keterlambatan penanganan. Otonomi harusnya mampu menjawab mekanisme penanggulangan bencana yang lebih baik, bukan menambah jalur birokrasi yang panjang. Otonomi harusnya hadir sebagai sebuah sistem yang mampu mengatasi kesalahan manajemen bencana yang terjadi selama ini. Di sisi lain, Pelaksanaan upaya manajemen bencana sangat membutuhkan kebijakan yang benar-benar mudah dan cepat diimplementasikan. Tanpa harus ada konflik kepentingan yang menghambat dan merugikan upaya penanggulangan bencana itu sendiri. Kebijakan penanggulangan bencana sangat krusial dan urgen saat ini, butuh kebijakan yang benar-benar bisa mengatur pada semua level pemerintahan. Hukum perlu direalisasikan dengan jelas dan tegas, karena salah satu asas penanggulangan bencana adalah adanya kepastian hukum.
Setiap ketentuan dan kebijakan Pemerintah dalam hal penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Sinkronisasi kebijakan penetapan tanggungjawab dan kewenangan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam manajemen penanggulangan bencana, yang sudah diatur lebih rinci pada UU No. 24 Tahun 2007, juga harus dieksplisitkan dengan tegas pada UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pada kebijakan pembagian urusan pemerintahan. Sehingga nantinya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, benar-benar melakukan fungsi pelaksana penanggulangan bencana dengan baik.
Koordinasi dan kerjasama antar semua stakeholder menjadi masalah penting dalam manajemen bencana. Hadirnya PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, membuka perspektif baru bagi Pemerintah Daerah untuk mengusahakan bentuk kerjasama yang efektif, usaha yang selama ini banyak kita kesampingkan dalam pola manajemen penanggulangan sebuah bencana. Berbagai bentuk kesepakatan kerjasama antara gubernur dengan gubernur, kesepakatan kerjasama gubernur dengan bupati/wali kota, kesepakatan kerjasama antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, serta kesepakatan kerjasama antara gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga (Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, perusahaan swasta yang berbadan hukum, BUMN, BUMD, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum), akan menjadi modal penting dalam usaha penanggulangan bencana ke depan.
Terjadinya bencana yang secara spasial memiliki eskalasi yang cukup luas, membutuhkan sebuah penanganan yang lintas wilayah pemerintahan. Sebagai contoh, seringnya banjir di Jakarta, tidak akan teratasi dengan baik, jika tidak ada sebuah kerjasama yang baik pula antara Propinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, khususnya Wilayah Jabotabekjur. Banjir membutuhkan koordinasi dan sinergisitas yang cukup komprehensif antara daerah hulu dan hilir, semua saling terkait, semua saling kerjasama, sitem penanganan bencana harus terjalin utuh, baik pada aspek birokrasi, fisik-lingkungan, maupun spasial-regional.
Secara lebih radikal lagi untuk dapat menghasilkan sebuah upaya pemberdayaan masyarakat dalam kerangka demokratisasi di daerah, pelaksanaan otonomi daerah itu harus difahami sebagai otonomi masyarakat dan bukan hanya otonomi pemerintah daerah saja. Kedua hal ini jelas nampak berbeda, pertama, otonomi berarti terbuka lebarnya ruang masyarakat untuk mengapresiasikan segala bentuk aspirasinya kepada penyelenggara pemerintahan. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri dengan merdeka atas dasar kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan kelompok ataupun golongan. Berarti masyarakat dalam hal ini sudah menjadi pelaku dari pembangunan itu sendiri. Kedua, pemahaman ini jelas mereduksi pelaksanaan otonomi itu sendiri, sebab bila demikian halnya, justru akan memunculkan raja-raja kecil baru yang bisa melakukan pengelolaan pemerintahan berdasarkan kebijakan mereka sendiri.[1]
Kesadaran akan pentingnya momentum otonomi daerah terhadap usaha memperbaiki sistem manajemen penanggulangan bencana, menjadi langkah awal bagi semua stakeholder dalam membuat sebuah mekanisme kebijakan dan regulasi yang lebih implementatif dan bermanfaat. Komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk sama-sama membangun integritas dan kapabilitas yang kuat dalam menanggulangi bencana, juga menjadi modal penting. Semua tanggung jawab ini, menjadi tugas besar yang harus diemban oleh semua komponen pemerintahan, seperti yang dikatakan pada UU No. 24 Tahun 2007 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Peran serta masyarakat, pihak swasta, LSM, dan Lembaga Internasional lainnya, tentunya sangat berarti bagi penguatan usaha penanggulangan bencana, yang harus terus diberdayakan dan diusahakan oleh Pemerintah ke depan. Jika semua komponen bangsa telah menyadari peran dan fungsinya masing-masing dalam usaha penanggulangan bencana, niscaya prinsip-prinsip dasar penanggulangan bencana yang cepat dan tepat, koordinatif dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non-diskriminatif, serta non-proletisi (penyebaran agama dan keyakinan), dapat direalisasikan dengan benar. Oleh karena itu, usaha penanggulangan bencana yang berdasarkan prinsip-prinsip yang benar, maka tujuan akhir dari usaha tersebut akan tercapai dengan baik, baik pada konteks perlindungan kepada masyarakat maupun bagi ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
C. PENUTUP
Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan sebagai beriku; Sinergisitas berbagai kebijakan otonomi daerah, yang secara mudah kita artikan dengan pembagian kewenangan kepada daerah menjadi lebih besar, harusnya menjadi momentum penting untuk pengupayaan usaha pencegahan dan penanggulangan bencana yang lebih terencana, terarah, dan terpadu. Daerah diberikan peran penting untuk memulai secara dewasa dalam mengurus segala usaha yang terkait dengan bencana. Pada PP No. 38 Tahun 2007, proses manajemen pencegahan dan penanggulangan bencana, secara eksplisit telah diatur. PP tersebut mencoba merinci pembagian urusan pemerintahan, mulai dari usaha mitigasi, penanganan bencana.
Secara lebih radikal lagi untuk dapat menghasilkan sebuah upaya pemberdayaan masyarakat dalam kerangka demokratisasi di daerah, pelaksanaan otonomi daerah itu harus difahami sebagai otonomi masyarakat dan bukan hanya otonomi pemerintah daerah saja. Kedua hal ini jelas nampak berbeda, pertama, otonomi berarti terbuka lebarnya ruang masyarakat untuk mengapresiasikan segala bentuk aspirasinya kepada penyelenggara pemerintahan. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri dengan merdeka atas dasar kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan kelompok ataupun golongan. Berarti masyarakat dalam hal ini sudah menjadi pelaku dari pembangunan itu sendiri. Kedua, pemahaman ini jelas mereduksi pelaksanaan otonomi itu sendiri, sebab bila demikian halnya, justru akan memunculkan raja-raja kecil baru yang bisa melakukan pengelolaan pemerintahan berdasarkan kebijakan mereka sendiri.
DAFTAR REFERENSI
Amy Y.S. Rahayu, 1977. Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality, dalam Bisnis dan Birokrasi No. 1/Vol. III/April/1997.
Azhar Kasim 1993, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, Lembaga Penerbit FEUI bekerjasama dengan Pusat antar universitas Ilmu-ilmu Sosial UI.
Harian Umum Republika edisi 22 November 2000, 10 Januari 2001, 9 Maret 2001 dan 20 Maret 2001.
Martani Huseini, 1994 Penyusunan Strategi Pelayanan Prima dalam suatu perspektif Reengineering, dalam Bisnis dan Birokrasi. No. 3/Vol IV/September 1994.
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 1974.
Pantius D Soeling 1997, Pem berdayaan SDM untuk peningkatan pelayanan, dalam Bisnis Birokrasi No. 2/Vol III/Agustus/1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar